Rabu, 08 Juni 2011

Kerajaan Siak : Assegaf, Bin Syahab atau Banahsan ?


Bermula masalah ini timbul dari banyaknya pertanyaan dari kawan-kawan di Riau maupun daerah lain yang menginginkan penjelasan tentang gelar kerajaan Siak. Ternyata pertanyaan itu tidak melalui email saja, ketika saya bertemu seorang sayid dari Pekan Baru, beliaupun mengangkat masalah gelar kerajaan Siak ini. Menurut beliau ada yang mengatakan bahwa kerajaan Siak itu bergelar Assegaf bukan Banahsan sebagaimana yang selama ini kita kenal. Hal ini juga pernah ramai dibicarakan pada tahun 1976 di Koran Pelita.
Menurut kitab Syamsu al-Dzahirah yang merupakan kitab silsilah keturunan Rasulullah dari jalur Ahmad bin Isa al-Muhajir karangan sayid Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (mufti Tarim), beberapa kitab lain seperti Syajaroh al-Zakiyah karangan Yusuf bin Abdullah Jamalullail dan al-Mu’jam al-Latif li Asbab al-Alqab wa al-Kunya fi al-Nasab al-Syarif karangan sayid Muhammad bin Ahmad al-Syatri  disebutkan bahwa kerajaan Siak itu bergelar Bahasan yang kemudian dikenal dengan keluarga  Syahab. Gelar Syahab di karenakan sayid Usman bin Abdurrahman yang menikah dengan putri raja Siak diberi gelar Syahabuddin sebagaimana anak cucunya juga mempunyai gelar seperti Syaifuddin, Kholiluddin, Jalaluddin. Banyak keturunan dari sayid Usman bin Abdurrahman di Malaysia, yang sampai sekarang menggunakan gelar Syahab.
Sedangkan gelar Banahsan, dapat ditemui dalam kitab silsilah yang berjudul Nur al-Anwar fi Fadhoil wa Tarajim wa Tawarikh wa Manaqib wa Mazarot Alu al-Bait al-Athhar karangan sayid Husin Muhammad al-Rifai (seorang ulama besar al-Azhar, ketua Rabithah al-Asyraf Mesir) dan kitab Khidmat al-Asyirah bi Tartib wa Talkhis wa Tadzyil Syamsi al-Dzahirah karangan sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf (Rabithah Alawiyah).
Gelar Banahsan adalah gelar dari anak cucu Hasan bin Ali bin Abibakar al-Sakran bin Abdurrahman Assegaf. Gelar Banahsan berasal dari perkataan Bahasan. Untuk memperingan sebutan dan membedakannya dengan nama yang sama yang digunakan oleh keluarga lain, maka Bahasan  dibaca dengan Banahsan. Selain dari anak cucu Hasan bin Ali bin Abibakar Sakran, gelar Bahasan digunakan juga oleh keluarga lain  :
Keluarga Bahasan al-Fuqais, yang berasal dari anak cucu Hasan bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf.
Keluarga Bahasan al-Thawil, yang berasal dari anak cucu Hasan bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammul Faqih.
Keluarga Bahasan Jamaulullail, yang berasal dari anak cucu Muhammad bin Hasan Jamalullail.
Kesimpulannya :
Penggunaan gelar Banahsan oleh keluarga kerajaan Siak didasari  beberapa kitab yang menyebutkan tentang hal itu, sebaliknya penggunaan gelar Assegaf untuk keluarga kerajaan Siak tidaklah tepat, jika hal itu ingin dilakukan, maka banyak gelar yang ada seperti Bin Syahab, Alaydrus, Al-Musawa, Al-Baiti, Alatas, bin Syekhbubakar, dan lainnya seharusnya juga menggunakan gelar Assegaf.
Bila kita melihat gelar Ba’agil, bin Jindan  atau Baharun misalnya, seharusnya mereka lebih benar menggunakan gelar Assegaf, bin Syekhbubakar atau Jamalullail, karena nama-nama seperti Aqil, Jindan dan Harun merupakan nama kakek mereka  sebagaimana nama Banahsan yang berasal dari nama kakek mereka yang bernama Hasan.
Lalu apa yang mendasari, atau kitab silsilah mana yang mengatakan bahwa kerajaan Siak itu adalah Assegaf ?
Raja Perlak Keturunan Nabi ?
Penyebaran agama Islam merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, namun juga yang paling tidak jelas. Tampaknya para pedagang yang beragama Islam sudah ada di beberapa bagian Indonesia selama beberapa abad sebelum agama Islam memperoleh kedudukan yang kokoh dalam masyarakat-masyarakat lokal. Kapan, mengapa dan bagaimana penduduk Indonesia mulai menganut agama Islam telah diperdebatkan oleh beberapa ilmuwan, tetapi tidak mungkin dicapai kesimpulan yang pasti, karena sangat sedikitnya dan sering sangat tidak informatifnya sumber-sumber yang dapat diperoleh tentang Islamisasi.
Dari beberapa hasil seminar tentang masuknya Islam di Indonesia, disimpulkan bahwa : pertama,  daerah yang pertama didatangi Islam ialah pesisir Sumatera, dan bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka Raja Islam yang pertama berada di Aceh. Kedua, Kerajaan-kerajaan Islam pertama adalah Perlak, Lamuri dan Pasai. Ketiga, Tarikh raja-raja kerajaan Aceh yang mendasarkan keterangannya kepada naskah tua berbahasa melayu dengan judul ‘Izhar al-Haq fi Mamlakah al-Ferlak wa al-Fasi’ karangan Abu Ishak Makarani al-Fasi, menegaskan bahwa kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah kerajaan Islam Perlak, yang didirikan pada tanggal 1 Muharram 225 H/840 M dan rajanya yang pertama yaitu sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz adalah keturunan Ali bin Abi Thalib, beliau adalah anak dari Sayid Ali bin Muhammad al-Dibaj bin Ja’far Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Yang menarik dari kesimpulan di atas adalah raja Perlak dinisbahkan sebagai keturunan Ali bin Abi Thalib. Sebagian sejarawan, baik yang terdahulu maupun yang muta’akhir banyak menukil pernyataan ini, yang menurut saya pertanyaan itu belum tentu mengandung kebenaran dan perlu ada usaha untuk mengkaji lebih dalam apakah hal itu memang suatu pernyataan yang benar.
Saya mencoba untuk mencari jawaban dari permasalahan di atas dengan mengkaji buku-buku sejarah dan silsilah yang berkaitan dengan hal tersebut. Pengkajian di awali dengan pertanyaan apakah sumber primer (kitab Izhar al-Haq) yang menjadi dasar pendapat di atas memang benar-benar ada ?. Pertanyaan selanjutnya adalah : siapakah Ali bin Muhammad al-Dibaj itu, di mana beliau lahir, hidup dan wafat, siapa saja anak-anak keturunan beliau, apakah beliau pernah ke Indonesi. Pertanyaan-pertanyaan di atas akan saya jadikan titik tolak pembahasan dan diharapkan akan menjawab permasalahan yang ada.
Menurut Abubakar Aceh pada seminar sejarah Islam di Medan pada tahun 1963, selain makan kuno di Leran yang menunjukkan adanya sebuah batu nisan dari Fathimah binti Maimun yang wafat tahun 475 H, masuknya Islam di Aceh didukung pula oleh bukti adanya daftar raja-raja Perlak yang diperolehnya dari H. Junus Djamil, yang pernah dikemukakanya dalam Pekan Kebudayaan Aceh pada tahun 1958. Menurut Djamil, daftar nama-nama sultan Perlak tersebut telah dicocokkan dengan makam-makam kuno Perlak. Namun hal itu dibantah oleh Hasan Muarrif Ambary. Ambary mengatakan bahwa hal tersebut tidak benar, karena dalam kunjungannya ke Perlak, tidak satupun makam yang berangka tahun abad 5 H. Selain itu, sumber kepustakaan berbahasa Arab (kitab Izhar al-Haq) yang diklaim Djamil mencatat nama-nama raja Perlak, masih disangsikan kebenarannya. Begitu pula dengan sejarawan lain seperti Zainuddin, Muhammad Said dan lainnya berusaha untuk mendapatkan kitab tersebut pada saudara Junus Djamil, akan tetapi Djamil mengatakan bahwa kitab itu ada tetapi saya tidak memilikinya. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa daftar-raja-raja Perlak yang ada pada Junus Djamil hanya karangan saja, bahkan Dr. Tudjimah mengatakan bahwa hal tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Persoalan kitab Izhar al-Haq fi Mamlakah al-Ferlak wa al-Fasi ini menghangat kembali ketika A. Hasymi membahas kitab tersebut. Ia mendukung pendapat yang pernah dilontarkan Abubakar Aceh, yang sebelumnya masih ia sangsikan. Dalam majalah Sinar Darussalam No. 103 tahun 1979, beliau menguraikan secara terperinci tentang kedatangan Islam dan proses Islamisasi di Perlak berdasarkan kitab Izhar al-Haq. Tetapi ketika seorang sejarawan Aceh Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi menanyakan kitab tersebut, A. Hasymi mengakui kalau dia belum pernah melihat, apalagi membaca naskah kitab tersebut.
Setelah kita mengetahui keberadaan kitab yang tidak jelas itu, maka saya mencoba untuk menelusuri siapa sayid Ali bin Muhammad al-Dibaj itu ? Berdasarkan beberapa kitab sejarah dan silsilah yang berbahasa Arab, sekelumit saya dapati sejarah kehidupan sayid Ali al-Harishi bin Muhammad al-Dibaj tersebut. Beliau dilahir dan besar di Basrah pada zaman kekuasaan Abu Tsurraya. Ketika Zaid bin Musa al-Kadzim datang ke Basrah, ia membantunya untuk berjuang melawan pemerintahan Bani Abbasiyah. Ali al-Harishi bin Muhammad al-Dibaj wafat dan dimakamkan di Baghdad. Beliau mempunyai anak dua orang yaitu Hasan dan Husien. Keturunan Hasan menyebar di wilayah Kufah-Baghdad sedangkan keturunan Husein menyebar ke wilayah Siraz, Qum, Rai, Quzwain. Dari Husein ini salah satu keturunannya dikenal dengan keluarga Thabathabai.
Kesimpulan :
Kitab Izhar al-Haq fi al-Mamlakah al-Ferlak wa al-Fasi secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan karena peneguhannya dengan peninggalan makam raja-raja Perlak tidak ada.
Sayid Ali al-Harishi bin Muhammad al-Dibaj bin Ja’far al-Shadiq lahir di Basrah dan wafat di Baghdad. Beliau tidak pernah ke Indonesia dan tidak pernah menikah dengan orang Indonesia (menurut cerita beliau dinikahkan oleh Raja Perlak Syahir Nuwi dengan adik kandungnya yang bernama Puteri Makhdum Tansyuri. Dari hasil pernikahan keduanya melahirkan seorang anak bernama Abdul Aziz ).
Sayid Ali al-Harishi bin Muhammad al-Dibaj hanya memiliki 2 anak yaitu Hasan dan Husein. Beliau tidak punya anak yang bernama Abdul Aziz sebagaimana yang disebutkan sebagai raja Perlak.
Keturunan sayid Ali al-Harishi bin Muhammad al-Dibaj melalui anak-anaknya tersebar di Kufah, Baghdad, Siraz, Qum, Rai dan Quzwain. Tidak ada satupun keturunannya yang tersebar di Indonesia pada saat itu.
Dari point-point di atas dapat dikatakan bahwa raja Perlak yang bernama Abdul Aziz bukanlah anak dari sayid Ali al-Harishi bin Muhammad al-Dibaj, sehingga beliau tidak dapat dikatakan sebagai keturunan Nabi.
Kesimpulan ini masih dapat berubah jika terdapat data dan fakta yang lebih kuat dari data dan fakta di atas.
Referensi :
Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200 , California: Stanford University Press, 2001
A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: Al-Maarif, 1993.
Hasan Muarrif Ambary, Menemukan Perdaban jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1998.
Panitia Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, Medan: tp, 1963.
Mahyudin Hj. Yahya & Ahmad Jelani Halimi, Sejarah Islam, Selangor: Fajar Bakti SDN.BHD, 1993.
Taufik Abdullah & Mohammad Hisyam, Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: MUI, 2003.
Ibnu Anbah, Umdah al-Tholib fi Ansab Aal Abi Thalib, Thaif: Al-Maarif, tt.
Muhammad bin Ahmad Al-Husaini al-Najafi, Bahru al-Ansab al-Musajjar al-Kasyaf li Ushul al-Sadaat al-Asyraf, Mesir: tp, tt.
Abdul Jawad Al-Thum’ah, Ma’alim Ansab al-Thalibiyin fi Syarah Kitab Sir al-Ansab al-Alawiyah, Qum: Matbah Satarah, 2001.
Kantor Pemelihara Silsilah Alawiyin di Indonesia
Di Indonesia, siapa pun yang berurusan dengan nasab keturunan Rasulullah saw tentu kenal Rabithah Alawiyah. Lembaga ini berdiri tahun 1928. Salah satu tugas yang diembannya adalah mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan nasab keturunan Nabi Muhammad saw.
Mengingat begitu pentingnya masalah nasab, dibentuklah lembaga khusus bernama Maktab Daimi. Dalam artikel 4, tujuan dan cita-cita Rabithah Alawiyah, di antaranya disebutkan, Rabithah Alawiyah berusaha untuk mengadakan satu badan yang bertugas mencatat kaum sayid yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara.
Maktab Daimi adalah lembaga nasab resmi badan otonom Rabithah Alawiyah yang bertugas memelihara sejarah dan sensus Alawiyin. Pendirian lembaga ini telah memperoleh kesepakatan bulat dan mendapatkan ridha serta izin para tokoh, sesepuh, dan ulama Alawiyin. Di antaranya, Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad (mufti Johor), Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf (pengarang kitab silsilah Chidmah al-Asyirah), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang).
Untuk menjalankan tugas ini, ditunjuklah Sayid Ali bin Ja’far Assegaf, yang saat itu duduk di Dewan Pengawas Rabithah Alawiyah cabang Betawi. Dengan biaya dari Rabithah Alawiyah dan didukung pula oleh seorang dermawan bernama Sayid Syech bin Ahmad bin Syahab, beliau mencatat keluarga sayid yang tersebar di Indonesia, hingga sampai saat ini bukan saja dari Indonesia, dari luar negeri pun banyak sayid yang datang untuk memeriksakan kebenaran nasabnya.
Sayid Ali bin Ja’far Assegaf banyak menerima data sensus para sayid dari Rabithah cabang, yang berada di beberapa daerah di Indonesia. Beliau tidak seorang diri dalam menjalankan tugasnya. Dalam pencatatan nasab di daerah, sayid Ali bin Ja’far Assegaf banyak dibantu oleh tim yang dibentuk oleh Rabithah Alawiyah cabang. Di Palembang misalnya, beliau dibantu oleh tim pencatatan nasab yang terdiri dari Syechan bin Alwi bin Syahab sebagai ketua tim dan dibantu oleh anggota-anggotanya seperti Abubakar bin Ali Al-Musawa, Ali bin Hamid bin Syech Abubakar, Ahmad bin Umar bin Syahab, Muhammad bin Zen Al-Hadi, Ibrahim bin Usman Al-Fakhar, Muhammad bin Syech Alkaf, Abdurrahman bin Abdullah Al-Haddad, Salim bin Abdullah Alkaf dan Syahabuddin bin Umar syahab. Total keluarga Alawiyin yang tercatat pada tahun 1930-an di Indonesia sekitar 17.000 orang.
Ketika kepengurusan meng-update data melalui program komputerisasi, mulai tahun 1937 sampai 2002, terdapat 100.000-an sayid yang namanya telah terdaftar di buku besar nasab (15 jilid). Di samping mengikuti prosedur yang telah ditentukan dalam Anggaran Rumah Tangga Rabithah Alawiyah, lembaga ini juga menempatkan kesaksian lingkungan sebagai salah satu syarat yang sangat penting untuk menguatkan kebenaran nasab seseorang, di samping data-data yang terdapat pada buku rujukan nasab yang dimilikinya. Pedoman tersebut berdasarkan pendapat Imam Abu Hanifah, “Dengan tersiar luas, nasab, kematian, dan pernikahan dapat ditetapkan.” Juga, pernyataan Ibnu Qudamah Al-Hanbali, “Telah sepakat ulama atas sahnya kesaksian mengenai nasab dan kelahiran seseorang, karena nasab atau kelahirannya dikenal atau tersiar luas di kalangan masyarakat.”
Adapun kitab rujukan yang digunakan oleh Maktab Daimi – seperti kitab Syamsu al-Dzahirah, karya Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, tulisan tangan asli dari Salman bin Said bin Awad Baghouts berjumlah tujuh jilid, kitab tulisan tangan Habib Ali bin Ja’far Assegaf berjumlah tiga jilid, buku hasil sensus Alawiyin di Indonesia, buku besar nasab yang merupakan pengembangan buku tulisan Habib Ali bin Ja’far Asseggaf yang ditulis oleh Habib Abdullah bin Isa bin Hud Al-Habsyi berjumlah 15 jilid – semuanya adalah yang asli, dan hanya dimiliki oleh Maktab Daimi.
Maktab Daimi menyadari sepenuhnya makna hadits yang diriwayatkan Abu Dzar Al-Ghifari. Rasulullah SAW bersabda, “Seseorang yang mengaku bernasab kepada lelaki yang bukan ayahnya, sedangkan ia mengetahuinya, adalah kafir. Dan barang siapa mengaku bernasab kepada suatu kaum yang bukan kaumnya, bersiaplah untuk mengambil tempatnya di neraka.” Oleh karena itulah, lembaga ini berkewajiban mengingatkan sesama muslim agar tidak terjerumus ke dalam kekafiran.
Sebaliknya, Maktab Daimi berusaha menjaga amanah yang suci untuk menjaga kesahihan nasab Alawiyin. Dan dalam konteks ini, patut kita renungkan kata-kata bijak Syaikh Al-Qassar, “Hendaklah setiap keluarga Nabi Muhammad saw, bahkan sekalian kaum muslimin, berkasih sayang dan menjaga keturunan yang mulia itu dengan mencatat keluarga dan keturunannya secara teliti, agar tidak seorang pun bisa mengaku dirinya termasuk keturunan Rasulullah saw melainkan dengan alasan yang kuat, yaitu menurut apa-apa yang telah dilakukan oleh umat Islam yang lebih dulu. Karena hal itu merupakan kehormatan dan kebesaran baginya.”
Sumber : Maktab Daimi dengan beberapa perubahan redaksi kalimat.

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Said usman syahabuddin dan keturunannya adalah AL SYAHAB BANAHSAN
    http://melayubersaudara.blogspot.com/2015/05/said-usman-syahabuddin-dan-keturunannya.html

    BalasHapus
  3. Assalam'alaikum.. saya orang siak, saya ingin minta tolong agar bisa ditulis tentang kisah ulama siak khusunya sayyid utsman ini..atau klw ada ulama siak yg lain juga boleh, karena siak ini kurang mengangkat peran ulama dan sprtinya ulama zaman kerajaan siak gk da yg ngarang kitabkitab.. mohon bantuannya... nanti bisa ikirim ke email saya abuadnanalharzi@gmail.com

    BalasHapus