Rabu, 08 Juni 2011

Kerajaan Siak : Assegaf, Bin Syahab atau Banahsan ?


Bermula masalah ini timbul dari banyaknya pertanyaan dari kawan-kawan di Riau maupun daerah lain yang menginginkan penjelasan tentang gelar kerajaan Siak. Ternyata pertanyaan itu tidak melalui email saja, ketika saya bertemu seorang sayid dari Pekan Baru, beliaupun mengangkat masalah gelar kerajaan Siak ini. Menurut beliau ada yang mengatakan bahwa kerajaan Siak itu bergelar Assegaf bukan Banahsan sebagaimana yang selama ini kita kenal. Hal ini juga pernah ramai dibicarakan pada tahun 1976 di Koran Pelita.
Menurut kitab Syamsu al-Dzahirah yang merupakan kitab silsilah keturunan Rasulullah dari jalur Ahmad bin Isa al-Muhajir karangan sayid Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (mufti Tarim), beberapa kitab lain seperti Syajaroh al-Zakiyah karangan Yusuf bin Abdullah Jamalullail dan al-Mu’jam al-Latif li Asbab al-Alqab wa al-Kunya fi al-Nasab al-Syarif karangan sayid Muhammad bin Ahmad al-Syatri  disebutkan bahwa kerajaan Siak itu bergelar Bahasan yang kemudian dikenal dengan keluarga  Syahab. Gelar Syahab di karenakan sayid Usman bin Abdurrahman yang menikah dengan putri raja Siak diberi gelar Syahabuddin sebagaimana anak cucunya juga mempunyai gelar seperti Syaifuddin, Kholiluddin, Jalaluddin. Banyak keturunan dari sayid Usman bin Abdurrahman di Malaysia, yang sampai sekarang menggunakan gelar Syahab.
Sedangkan gelar Banahsan, dapat ditemui dalam kitab silsilah yang berjudul Nur al-Anwar fi Fadhoil wa Tarajim wa Tawarikh wa Manaqib wa Mazarot Alu al-Bait al-Athhar karangan sayid Husin Muhammad al-Rifai (seorang ulama besar al-Azhar, ketua Rabithah al-Asyraf Mesir) dan kitab Khidmat al-Asyirah bi Tartib wa Talkhis wa Tadzyil Syamsi al-Dzahirah karangan sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf (Rabithah Alawiyah).
Gelar Banahsan adalah gelar dari anak cucu Hasan bin Ali bin Abibakar al-Sakran bin Abdurrahman Assegaf. Gelar Banahsan berasal dari perkataan Bahasan. Untuk memperingan sebutan dan membedakannya dengan nama yang sama yang digunakan oleh keluarga lain, maka Bahasan  dibaca dengan Banahsan. Selain dari anak cucu Hasan bin Ali bin Abibakar Sakran, gelar Bahasan digunakan juga oleh keluarga lain  :
Keluarga Bahasan al-Fuqais, yang berasal dari anak cucu Hasan bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf.
Keluarga Bahasan al-Thawil, yang berasal dari anak cucu Hasan bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammul Faqih.
Keluarga Bahasan Jamaulullail, yang berasal dari anak cucu Muhammad bin Hasan Jamalullail.
Kesimpulannya :
Penggunaan gelar Banahsan oleh keluarga kerajaan Siak didasari  beberapa kitab yang menyebutkan tentang hal itu, sebaliknya penggunaan gelar Assegaf untuk keluarga kerajaan Siak tidaklah tepat, jika hal itu ingin dilakukan, maka banyak gelar yang ada seperti Bin Syahab, Alaydrus, Al-Musawa, Al-Baiti, Alatas, bin Syekhbubakar, dan lainnya seharusnya juga menggunakan gelar Assegaf.
Bila kita melihat gelar Ba’agil, bin Jindan  atau Baharun misalnya, seharusnya mereka lebih benar menggunakan gelar Assegaf, bin Syekhbubakar atau Jamalullail, karena nama-nama seperti Aqil, Jindan dan Harun merupakan nama kakek mereka  sebagaimana nama Banahsan yang berasal dari nama kakek mereka yang bernama Hasan.
Lalu apa yang mendasari, atau kitab silsilah mana yang mengatakan bahwa kerajaan Siak itu adalah Assegaf ?
Raja Perlak Keturunan Nabi ?
Penyebaran agama Islam merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, namun juga yang paling tidak jelas. Tampaknya para pedagang yang beragama Islam sudah ada di beberapa bagian Indonesia selama beberapa abad sebelum agama Islam memperoleh kedudukan yang kokoh dalam masyarakat-masyarakat lokal. Kapan, mengapa dan bagaimana penduduk Indonesia mulai menganut agama Islam telah diperdebatkan oleh beberapa ilmuwan, tetapi tidak mungkin dicapai kesimpulan yang pasti, karena sangat sedikitnya dan sering sangat tidak informatifnya sumber-sumber yang dapat diperoleh tentang Islamisasi.
Dari beberapa hasil seminar tentang masuknya Islam di Indonesia, disimpulkan bahwa : pertama,  daerah yang pertama didatangi Islam ialah pesisir Sumatera, dan bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka Raja Islam yang pertama berada di Aceh. Kedua, Kerajaan-kerajaan Islam pertama adalah Perlak, Lamuri dan Pasai. Ketiga, Tarikh raja-raja kerajaan Aceh yang mendasarkan keterangannya kepada naskah tua berbahasa melayu dengan judul ‘Izhar al-Haq fi Mamlakah al-Ferlak wa al-Fasi’ karangan Abu Ishak Makarani al-Fasi, menegaskan bahwa kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah kerajaan Islam Perlak, yang didirikan pada tanggal 1 Muharram 225 H/840 M dan rajanya yang pertama yaitu sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz adalah keturunan Ali bin Abi Thalib, beliau adalah anak dari Sayid Ali bin Muhammad al-Dibaj bin Ja’far Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Yang menarik dari kesimpulan di atas adalah raja Perlak dinisbahkan sebagai keturunan Ali bin Abi Thalib. Sebagian sejarawan, baik yang terdahulu maupun yang muta’akhir banyak menukil pernyataan ini, yang menurut saya pertanyaan itu belum tentu mengandung kebenaran dan perlu ada usaha untuk mengkaji lebih dalam apakah hal itu memang suatu pernyataan yang benar.
Saya mencoba untuk mencari jawaban dari permasalahan di atas dengan mengkaji buku-buku sejarah dan silsilah yang berkaitan dengan hal tersebut. Pengkajian di awali dengan pertanyaan apakah sumber primer (kitab Izhar al-Haq) yang menjadi dasar pendapat di atas memang benar-benar ada ?. Pertanyaan selanjutnya adalah : siapakah Ali bin Muhammad al-Dibaj itu, di mana beliau lahir, hidup dan wafat, siapa saja anak-anak keturunan beliau, apakah beliau pernah ke Indonesi. Pertanyaan-pertanyaan di atas akan saya jadikan titik tolak pembahasan dan diharapkan akan menjawab permasalahan yang ada.
Menurut Abubakar Aceh pada seminar sejarah Islam di Medan pada tahun 1963, selain makan kuno di Leran yang menunjukkan adanya sebuah batu nisan dari Fathimah binti Maimun yang wafat tahun 475 H, masuknya Islam di Aceh didukung pula oleh bukti adanya daftar raja-raja Perlak yang diperolehnya dari H. Junus Djamil, yang pernah dikemukakanya dalam Pekan Kebudayaan Aceh pada tahun 1958. Menurut Djamil, daftar nama-nama sultan Perlak tersebut telah dicocokkan dengan makam-makam kuno Perlak. Namun hal itu dibantah oleh Hasan Muarrif Ambary. Ambary mengatakan bahwa hal tersebut tidak benar, karena dalam kunjungannya ke Perlak, tidak satupun makam yang berangka tahun abad 5 H. Selain itu, sumber kepustakaan berbahasa Arab (kitab Izhar al-Haq) yang diklaim Djamil mencatat nama-nama raja Perlak, masih disangsikan kebenarannya. Begitu pula dengan sejarawan lain seperti Zainuddin, Muhammad Said dan lainnya berusaha untuk mendapatkan kitab tersebut pada saudara Junus Djamil, akan tetapi Djamil mengatakan bahwa kitab itu ada tetapi saya tidak memilikinya. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa daftar-raja-raja Perlak yang ada pada Junus Djamil hanya karangan saja, bahkan Dr. Tudjimah mengatakan bahwa hal tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Persoalan kitab Izhar al-Haq fi Mamlakah al-Ferlak wa al-Fasi ini menghangat kembali ketika A. Hasymi membahas kitab tersebut. Ia mendukung pendapat yang pernah dilontarkan Abubakar Aceh, yang sebelumnya masih ia sangsikan. Dalam majalah Sinar Darussalam No. 103 tahun 1979, beliau menguraikan secara terperinci tentang kedatangan Islam dan proses Islamisasi di Perlak berdasarkan kitab Izhar al-Haq. Tetapi ketika seorang sejarawan Aceh Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi menanyakan kitab tersebut, A. Hasymi mengakui kalau dia belum pernah melihat, apalagi membaca naskah kitab tersebut.
Setelah kita mengetahui keberadaan kitab yang tidak jelas itu, maka saya mencoba untuk menelusuri siapa sayid Ali bin Muhammad al-Dibaj itu ? Berdasarkan beberapa kitab sejarah dan silsilah yang berbahasa Arab, sekelumit saya dapati sejarah kehidupan sayid Ali al-Harishi bin Muhammad al-Dibaj tersebut. Beliau dilahir dan besar di Basrah pada zaman kekuasaan Abu Tsurraya. Ketika Zaid bin Musa al-Kadzim datang ke Basrah, ia membantunya untuk berjuang melawan pemerintahan Bani Abbasiyah. Ali al-Harishi bin Muhammad al-Dibaj wafat dan dimakamkan di Baghdad. Beliau mempunyai anak dua orang yaitu Hasan dan Husien. Keturunan Hasan menyebar di wilayah Kufah-Baghdad sedangkan keturunan Husein menyebar ke wilayah Siraz, Qum, Rai, Quzwain. Dari Husein ini salah satu keturunannya dikenal dengan keluarga Thabathabai.
Kesimpulan :
Kitab Izhar al-Haq fi al-Mamlakah al-Ferlak wa al-Fasi secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan karena peneguhannya dengan peninggalan makam raja-raja Perlak tidak ada.
Sayid Ali al-Harishi bin Muhammad al-Dibaj bin Ja’far al-Shadiq lahir di Basrah dan wafat di Baghdad. Beliau tidak pernah ke Indonesia dan tidak pernah menikah dengan orang Indonesia (menurut cerita beliau dinikahkan oleh Raja Perlak Syahir Nuwi dengan adik kandungnya yang bernama Puteri Makhdum Tansyuri. Dari hasil pernikahan keduanya melahirkan seorang anak bernama Abdul Aziz ).
Sayid Ali al-Harishi bin Muhammad al-Dibaj hanya memiliki 2 anak yaitu Hasan dan Husein. Beliau tidak punya anak yang bernama Abdul Aziz sebagaimana yang disebutkan sebagai raja Perlak.
Keturunan sayid Ali al-Harishi bin Muhammad al-Dibaj melalui anak-anaknya tersebar di Kufah, Baghdad, Siraz, Qum, Rai dan Quzwain. Tidak ada satupun keturunannya yang tersebar di Indonesia pada saat itu.
Dari point-point di atas dapat dikatakan bahwa raja Perlak yang bernama Abdul Aziz bukanlah anak dari sayid Ali al-Harishi bin Muhammad al-Dibaj, sehingga beliau tidak dapat dikatakan sebagai keturunan Nabi.
Kesimpulan ini masih dapat berubah jika terdapat data dan fakta yang lebih kuat dari data dan fakta di atas.
Referensi :
Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200 , California: Stanford University Press, 2001
A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: Al-Maarif, 1993.
Hasan Muarrif Ambary, Menemukan Perdaban jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1998.
Panitia Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, Medan: tp, 1963.
Mahyudin Hj. Yahya & Ahmad Jelani Halimi, Sejarah Islam, Selangor: Fajar Bakti SDN.BHD, 1993.
Taufik Abdullah & Mohammad Hisyam, Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: MUI, 2003.
Ibnu Anbah, Umdah al-Tholib fi Ansab Aal Abi Thalib, Thaif: Al-Maarif, tt.
Muhammad bin Ahmad Al-Husaini al-Najafi, Bahru al-Ansab al-Musajjar al-Kasyaf li Ushul al-Sadaat al-Asyraf, Mesir: tp, tt.
Abdul Jawad Al-Thum’ah, Ma’alim Ansab al-Thalibiyin fi Syarah Kitab Sir al-Ansab al-Alawiyah, Qum: Matbah Satarah, 2001.
Kantor Pemelihara Silsilah Alawiyin di Indonesia
Di Indonesia, siapa pun yang berurusan dengan nasab keturunan Rasulullah saw tentu kenal Rabithah Alawiyah. Lembaga ini berdiri tahun 1928. Salah satu tugas yang diembannya adalah mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan nasab keturunan Nabi Muhammad saw.
Mengingat begitu pentingnya masalah nasab, dibentuklah lembaga khusus bernama Maktab Daimi. Dalam artikel 4, tujuan dan cita-cita Rabithah Alawiyah, di antaranya disebutkan, Rabithah Alawiyah berusaha untuk mengadakan satu badan yang bertugas mencatat kaum sayid yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara.
Maktab Daimi adalah lembaga nasab resmi badan otonom Rabithah Alawiyah yang bertugas memelihara sejarah dan sensus Alawiyin. Pendirian lembaga ini telah memperoleh kesepakatan bulat dan mendapatkan ridha serta izin para tokoh, sesepuh, dan ulama Alawiyin. Di antaranya, Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad (mufti Johor), Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf (pengarang kitab silsilah Chidmah al-Asyirah), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang).
Untuk menjalankan tugas ini, ditunjuklah Sayid Ali bin Ja’far Assegaf, yang saat itu duduk di Dewan Pengawas Rabithah Alawiyah cabang Betawi. Dengan biaya dari Rabithah Alawiyah dan didukung pula oleh seorang dermawan bernama Sayid Syech bin Ahmad bin Syahab, beliau mencatat keluarga sayid yang tersebar di Indonesia, hingga sampai saat ini bukan saja dari Indonesia, dari luar negeri pun banyak sayid yang datang untuk memeriksakan kebenaran nasabnya.
Sayid Ali bin Ja’far Assegaf banyak menerima data sensus para sayid dari Rabithah cabang, yang berada di beberapa daerah di Indonesia. Beliau tidak seorang diri dalam menjalankan tugasnya. Dalam pencatatan nasab di daerah, sayid Ali bin Ja’far Assegaf banyak dibantu oleh tim yang dibentuk oleh Rabithah Alawiyah cabang. Di Palembang misalnya, beliau dibantu oleh tim pencatatan nasab yang terdiri dari Syechan bin Alwi bin Syahab sebagai ketua tim dan dibantu oleh anggota-anggotanya seperti Abubakar bin Ali Al-Musawa, Ali bin Hamid bin Syech Abubakar, Ahmad bin Umar bin Syahab, Muhammad bin Zen Al-Hadi, Ibrahim bin Usman Al-Fakhar, Muhammad bin Syech Alkaf, Abdurrahman bin Abdullah Al-Haddad, Salim bin Abdullah Alkaf dan Syahabuddin bin Umar syahab. Total keluarga Alawiyin yang tercatat pada tahun 1930-an di Indonesia sekitar 17.000 orang.
Ketika kepengurusan meng-update data melalui program komputerisasi, mulai tahun 1937 sampai 2002, terdapat 100.000-an sayid yang namanya telah terdaftar di buku besar nasab (15 jilid). Di samping mengikuti prosedur yang telah ditentukan dalam Anggaran Rumah Tangga Rabithah Alawiyah, lembaga ini juga menempatkan kesaksian lingkungan sebagai salah satu syarat yang sangat penting untuk menguatkan kebenaran nasab seseorang, di samping data-data yang terdapat pada buku rujukan nasab yang dimilikinya. Pedoman tersebut berdasarkan pendapat Imam Abu Hanifah, “Dengan tersiar luas, nasab, kematian, dan pernikahan dapat ditetapkan.” Juga, pernyataan Ibnu Qudamah Al-Hanbali, “Telah sepakat ulama atas sahnya kesaksian mengenai nasab dan kelahiran seseorang, karena nasab atau kelahirannya dikenal atau tersiar luas di kalangan masyarakat.”
Adapun kitab rujukan yang digunakan oleh Maktab Daimi – seperti kitab Syamsu al-Dzahirah, karya Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, tulisan tangan asli dari Salman bin Said bin Awad Baghouts berjumlah tujuh jilid, kitab tulisan tangan Habib Ali bin Ja’far Assegaf berjumlah tiga jilid, buku hasil sensus Alawiyin di Indonesia, buku besar nasab yang merupakan pengembangan buku tulisan Habib Ali bin Ja’far Asseggaf yang ditulis oleh Habib Abdullah bin Isa bin Hud Al-Habsyi berjumlah 15 jilid – semuanya adalah yang asli, dan hanya dimiliki oleh Maktab Daimi.
Maktab Daimi menyadari sepenuhnya makna hadits yang diriwayatkan Abu Dzar Al-Ghifari. Rasulullah SAW bersabda, “Seseorang yang mengaku bernasab kepada lelaki yang bukan ayahnya, sedangkan ia mengetahuinya, adalah kafir. Dan barang siapa mengaku bernasab kepada suatu kaum yang bukan kaumnya, bersiaplah untuk mengambil tempatnya di neraka.” Oleh karena itulah, lembaga ini berkewajiban mengingatkan sesama muslim agar tidak terjerumus ke dalam kekafiran.
Sebaliknya, Maktab Daimi berusaha menjaga amanah yang suci untuk menjaga kesahihan nasab Alawiyin. Dan dalam konteks ini, patut kita renungkan kata-kata bijak Syaikh Al-Qassar, “Hendaklah setiap keluarga Nabi Muhammad saw, bahkan sekalian kaum muslimin, berkasih sayang dan menjaga keturunan yang mulia itu dengan mencatat keluarga dan keturunannya secara teliti, agar tidak seorang pun bisa mengaku dirinya termasuk keturunan Rasulullah saw melainkan dengan alasan yang kuat, yaitu menurut apa-apa yang telah dilakukan oleh umat Islam yang lebih dulu. Karena hal itu merupakan kehormatan dan kebesaran baginya.”
Sumber : Maktab Daimi dengan beberapa perubahan redaksi kalimat.

GELAR DI HADRAMAUT


Gelar Imam, Syekh, Habib dan Sayid
Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum ‘Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :
IMAM (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.
SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim. Di kota Tarim, ia belajar bahasa Arab, teologi dan fikih sampai meraih kemampuan sebagai ulama besar ahli fiqih. Ia juga secara resmi masuk ke dunia tasawuf dan mencetuskan tarekat ‘Alawi. Sejak kecil ia menuntut ilmu dari berbagai guru, menghafal alquran dan banyak hadits serta mendalami ilmu fiqih. Ketika ia masih menuntut ilmu, Syekh Abu Madyan seorang tokoh sufi dari Maghrib mengutus Syekh Abdurahman al-Muq’ad untuk menemuinya. Utusan ini meninggal di Makkah sebelum sampai di Tarim, tetapi sempat menyampaikan pesan gurunya agar Syekh Abdullah al-Saleh melaksanakan tugas itu. Atas nama Syekh Abu Madyan, Abdullah membaiat dan mengenakan khiqah berupa sepotong baju sufi kepada al-Faqih al-Muqaddam. Walaupun menjadi orang sufi, ia terus menekuni ilmu fiqih. Ia berhasil memadukan ilmu fiqih dan tasawuf serta ilmu-ilmu lain yang dikajinya. Sejak itu, tasawuf dan kehidupan sufi banyak dianut dan disenangi di Hadramaut, terutama di kalangan ‘Alawi.
Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia memulai pendidikannya pada ayah dan kakeknya lalu meneruskan pendidikannya di Yaman dan Hijaz dan belajar pada ulama-ulama besar. Ia kemudian bermukim dan mengajar di Mekkah dan Madinah hingga digelari Imam al-Haramain dan Mujaddid abad ke 8 Hijriyah. Ketika Saudaranya Imam Ali bin Alwi meninggal dunia, tokoh-tokoh Hadramaut menyatakan bela sungkawa kepadanya sambil memintanya ke Hadramaut untuk menjadi da’i dan guru mereka. Ia memenuhi permintaan tersebut dan berhasil mencetak puluhan ulama besar.
Abdurahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia digelari al-Saqqaf karena kedudukannya sebagai pengayom dan Ilmu serta tasawufnya yang tinggi. Pemula famili al-Saqqaf ini adalah ulama besar yang mencetak berpuluh ulama termasuk putranya sendiri Umar Muhdhar. Ia juga sangat terkenal karena kedermawanannya. Ia mendirikan sepuluh masjid serta memberikan harta wakaf untuk pembiayaannya. Ia memiliki banyak kebun kurma.
Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf adalah imam dalam ilmu dan tokoh dalam tasawuf. Ia terkenal karena kedermawanannya. Ia menjamin nafkah beberapa keluarga. Rumahnya tidak pernah sepi dari tamu. Ia mendirikan tiga buah masjid. Menurut Muhammad bin Abu Bakar al-Syilli, ia telah mencapai tingkat mujtahid mutlaq dalam ilmu syariat. Ia meninggal ketika sujud dalam shalat Dzuhur.
Abdullah al-Aidrus bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Hingga usia 10 tahun, ia dididik ayahnya dan setelah ayahnya wafat ia dididik pamannya Umar Muhdhar hingga usia 25 tahun. Ia ulama besar dalam syariat, tasawuf dan bahasa. Ia giat dalam menyebarkan ilmu dan dakwah serta amat tekun beribadah.
Ali bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Ia menulis sebuah wirid yang banyak dibaca orang hingga abad ke 21 ini. Ia terkenal dalam berbagai ilmu, khususnya tasawuf. Menurut Habib Abdullah al-Haddad, ia merupakan salaf ba’alawi terakhir yang harus ditaati dan diteladani.
HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum ‘Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina.
Tokoh utama ‘Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa. Sejak kecil ia telah menghafal alquran. Ia berilmu tinggi dalam syariat, tasawuf dan bahasa arab. Banyak orang datang belajar kepadanya. Ia juga menulis beberapa buku.
Pada tahap ini juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
SAYYID (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum ‘Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar.
Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.
Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.

Serupa tapi tak sama
Nama-nama qabilah ini serupa dengan nama-nama qabilah Alawiyin, tetapi qabilah tersebut bukan termasuk Alawiyin :
¡  Al-Bahar dari qabilah Muhammad bin Ghilan di Nahiyah Yaman
¡  Ba-jindan dari suatu qabilah di Hadramaut.
¡  Al-Junaid terdapat pula yang berasal dari Bani A’yan
¡  Al-Habsyi dari Bani Malik, Qabilah Ghomid   di Bahah
¡  Al-Haddad dari famili Abul Khoil
¡  Al-Qadri dari masyayekh di Hadramaut.
¡  Basuroh dari qabilah Syaiban di Maqad, Dua’an Hadramaut
¡  Al-Shofi dari Bani Kindah
¡  Ba’aqil dari suatu qabilah di Aden dan Mukala
¡  Al-Atasi di Siria
¡  Ba’abud dari famili Al-Amudi
¡  Bafaqih dari famili Bin Afif di Hijrain Hadramaut dan Bafaqih dari keluarga Al-Amudi di Wadi Isir Du’an Hadramaut
¡  Bilfaqih dari suatu qabilah di Shibam Hadramaut
¡  Bafaraj dari suatu qabilah di Mukala Yaman
¡  Al-Kaf  qabilah yang berasal dari Mekkah al-Mukarromah.
¡  Mugebel dari qabilah Ahlan di Sa’dah Yaman
¡  Al-Musawa dari qabilah Bani Nahat
¡  Al-Mutohar dari famili Al-Amudi
¡  Bin Yahya yang terdapat di Du’an Hadramaut

Perhatian Ulama terhadap silsilah keturunan Nabi saw


Dalam berbagai kitab umat Islam yang berkaitan dengan ilmu fiqih dan ilmu hadits, diantaranya ditulis hukum-hukum yang berkenaan dengan ahlu bait atau keluarga nabi saw, baik yang berkaitan dengan masalah zakat, pernikahan, wasiat dan lain sebagainya. Begitu pula dalam buku sejarah Islam, banyak ditulis mengenai prikehidupan ahlu bait, bahkan ulama-ulama yang menulis buku tersebut berpesan dan memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menjaga kehormatan keluarga Nabi saw dengan mencatat keturunan ahlu bait, sebagaimana hal itu telah terjadi di zaman Rasulullah saw dan para sahabatnya dengan menerima keterangan-keterangan tentang keturunan bangsa Arab dari para ahli nasab saat itu. Dalam kitab Irtiqau al-Ghuruf Fi Mahabbah al-Qurba Dzawi al-Syaraf, Imam Hafidz Syamsuddin al-Sakhawi berkata :

‘Bahwa ilmu nasab adalah suatu pengetahuan khusus dalam ilmu-ilmu atsar (hadits-hadits dan lainnya). Kemudian ia berkata : Dan yang lebih khusus lagi, ilmu itu mengandung pengetahuan tentang keturunan nabi Muhammad saw dan siapa saja yang tersangkut atau terikat nasabnya kepada beliau saw. Dengan pengetahuan itu dapatlah dibedakan antara keturunan Abdi Manaf dan keturunan Hasyim, keturunan Abdi Syam dan keturunan Naufal, Quraisy dan Kinanah, Aus dan Kharzraj, antara Arab dan yang bukan Arab (Ajam), antara yang berasal dari budak dan yang bukan budak‘.
Selanjutnya Imam Hafidz Syamsuddin al-Sakhawi berkata :
Dan daripada manfaatnya dalam urusan agama (syara’) ialah untuk mengetahui para khalifah dan urusan kafa’ah, jangan sampai kejadian perkawinan antara siapa-siapa yang diharamkan kawin yang satu dengan yang lainnya disebabkan adanya hubungan keturunan dan keluarga yang dekat, dan lebih jauh untuk mengurus siapa saja yang wajib diberi nafqah, dan berhak menerima warisan, …‘

Imam al-Mawardi al-Syafii dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthoniyah berkata :
‘Bahwa wajib atas seorang yang dipilih dan diangkat untuk mengurus keturunan dari golongan-golongan yang mempunyai turunan, yaitu menjaga keturunan mereka jangan sampai orang lain masuk di dalamnya, atau ada yang keluar dari keturunan itu, serta membedakan famili-famili dan keturunannya supaya jangan sampai timbul kekeliruan antara anak-anak dari satu bapak dan satu ibu‘.

Jamaluddin Muhammad bin Abubakar al-Asykhor dalam kitabnya yang berisi fatwa-fatwa pada fasal pembagian harta pusaka (faraidh), mengatakan :
‘Dan manakala diterangkan tentang nasab seseorang oleh seorang imam yang terpandang dan seorang alim yang tinggi pengetahuannya dalam ilmu nasab atau terdapat dalam karangan yang pengarangnya sangat perhatian terhadap karangan tersebut, untuk menjaga keturunannya, serta terkenal ia mempunyai pengetahuan yang cukup dalam ilmu nasab, berpegang kuat kepada agamanya dan selalu menjauhkan dirinya dari dari perbuatan yang melanggar agama dan menjaga dirinya dari bicara yang sia-sia, tidak ada satupun masyarakat yang ragu kepada dia, maka keterangannya itu dapat dijadikan alasan bagi hakim untuk hal itu’.


Syekh al-Qassar berkata :
‘Patutlah bagi setiap keluarga Nabi Muhammad saw, bahkan bagi sekalian kaum muslimin agar berkasih sayang dan menjaga keturunan yang mulia itu dengan mencatat keluarga dan keturunannya dengan teliti, agar tidak seorangpun bisa mengaku dirinya termasuk keturunan Rasulullah saw melainkan dengan alasan yang kuat, yaitu menurut apa–apa yang telah dilakukan oleh umat Islam yang lebih dulu, karena hal itu merupakan kehormatan dan kebesaran baginya’.

Syekh Ibnu Hajar al-Haitsami berkata, ‘Dan wajib bagi setiap orang bersikap kasih sayang kepada keturunan Nabi saw yang mulia ini dengan mencatatnya secara benar, agar tidak ada seorangpun yang mengaku bahwa dirinya termasuk keturunan nabi Muhammad saw dengan tanpa alasan’.

Berkata syekh Muhammad bin Ahmad Nabis dalam kitab salinan (syarah) Hamaziyah, yang dikutip dari Qadhi al-Asjhar Bardalah, sebagai berikut :
‘Bahwa sebenarnya tatkala umat Islam diperintah dengan hukum-hukum yang berkenaan dengan keluarga nabi Muhammad saw tentang urusan zakat dan sholawat kepadanya, dan haknya seperlima dari satu perlima (khumus) dan lain sebagainya, maka ditentukanlah untuk membedakan pelaksanaan hukum-hukum ini untuk keluarga nabi Muhammad saw dari yang lainnya. Untuk membedakannya agar dilakukan pemeriksaan yang luas dan penyelidikan yang mendalam, maka untuk keperluan itu diadakanlah Naqib (kepala dari bangsa sayid untuk melakukan urusan yang berkenaan dengan keluarga nabi Muhammad saw) baik di waktu dulu maupun diwaktu sekarang di semua kerajaan Islam.
Kitab silsilah mengenai keturunan Rasulullah saw

Ahli sejarah terdahulu seperti al-Kalabi dan yang datang kemudian banyak menulis karangan-karangan yang terkenal mengenai keturunan Rasulullah saw. Kemudian yang datang belakangan memperbaiki dan menyempurnakan kembali seperti syarif Abinizam Muayiddin Ubaidillah al-Asytari al-Huseini yang menduduki jabatan Naqib di negeri Wasit, di dalam kitabnya yang berjudul al-Thobat al-Musan, Syarif Muhammad bin Ahmad al-Amidi di dalam kitabnya al-Musajjar al-Kasyaf Li Ushul al-Saadah al-Asyraf, sayid Amiduddin bin Ali al-Huseini, syarif Abu al-Harits Muhammad bin Muhammad al-Wasiti al-Huseini, sayid Ja’far bin Muhammad dengan kitabnya al-Sirath al-Ablaj, begitu pula dengan kitab al-Anwar al-Mudhi’ah Wa Nafhah al-Anbariah Fi Ansab Khair al-Barriyah dan Bahr al-Ansab karangan sayid Hasun al-Buraqi al-Najafi, kitab Durar al-Ma’ali Fi Dzurriyah Abi al-Ma’ali dan kitab al-Gusun Fi Musajjarah al-Yasin karangan Husein bin Ahmad, kitab Sabaik al-Zhahab Fi Syabki al-Nasab karangan Tajuddin Ibnu Majjah, dan kitab Umdah al-Thalib al-Sughra karangan sayid Ahmad bin Anbah al-Huseini, kitab Tuhfah al-Tholib, al-Mujdi, dan Tuhfah al-Azhar Fi Ansab Aali Nabiy al-Mukhtar karangan sayid Dhamin bin Sadqam. Begitu juga dengan kitab Umdah al-Thalib al-Kubra karangan sayid Ahmad bin Anbah al-Huseini telah dicetak. Kitab Raudah al-Albab Fi Ma’rifah al-Ansab karangan syarif Abi Alamah al-Muayyad al-Yamani merupakan kitab yang sangat penting berisi uraian tentang asal usul keturunan sayid dan bangsa Arab di Yaman dan Hadramaut.
Lebih dari seratus ahli sejarah, ahli fiqih dan ulama di Yaman Hadramaut yang telah menulis keturunan ahli bait, khususnya keturunan Ahmad bin Isa al-Muhajir. Diantaranya Imam Abu Hafs bin Sumrah al-Yamani dengan kitanya yang berjudul Tabaqat Fuqaha al-Yaman, Imam Husein bin Abdurrahman al-Ahdal dengan kitabnya Tuhfah al-Zaman Fi Tarikh al-Yaman, Abbas bin Ali al-Rasuli dengan kitabnya al-Athaya al-Saniyah, syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Chatib al-Anshari dengan kitabnya al-Jauhar al-Syaffaf.
Di kalangan Alawiyin terdapat kitab al-Jawahir al-Saniyyah Fi Nasab al-Ithrah al-Huseiniyyah karangan sayid Ali bin Abubakar al-Seqqaf, sayid Ahmad bin Husein bin Abdurrahman al-Alawi, sayid Abdullah bin Syech bin Abdullah Alaydrus, kitab-kitab karangan mereka disempurnakan lagi melalui kitab yang dikarang oleh sayid Abdullah bin Ahmad bin Husein Alaydrus, sayid Abdurrahman bin Muhammad Alaydrus, sayid Abdullah bin al-Faqih Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi, sayid Abdullah bin Ahmad al-Faqih, sayid Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih dalam kitabnya al-Ithaf Bi Nasab al-Sadah al-Asyraf, sayid Ali bin Syech bin Syahabuddin, sayid Abdullah bin Husein Bin Thahir, sayid Ali bin Abdullah bin Husein Bin Syahab, sayid Umar bin Abdurrahman bin Syahab dan yang paling akhir adalah kitab Syamsu al-Zhahirah karangan sayid Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur yang terdiri dari tujuh jilid. Kebanyakan dari kitab tersebut masih dalam bentuk tulisan tangan dan hanya beberapa saja yang sudah dicetak seperti kitab Syamsu al-Zhahirah.
Pesan Keluarga Rasul saw tentang nasab

Rasulullah saw bersabda :
“Wahai Bani Hasyim ! Janganlah sampai orang-orang lain menghadap padaku pada hari kiamat nanti dengan berbagai amal shaleh (baik), sedangkan kalian menghadapku hanya dengan membanggakan nasab (keturunan).”
Ali Bin Abi Thalib berkata :
“Barangsiapa yang bermalas-malasan (menangguhkan) amalnya, tidaklah tertolong atau dipercepat naik derajat karena mengandalkan nasab (keturunan).”
Diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri, beliau berkata bahwa Daud al-Thoi pernah mendatangi Ja’far al-Shaddiq untuk minta pendapat dan nasehat, padahal beliau adalah seorang imam sufi ahli zuhud pada masanya.
Daud al-Thoi :
Wahai anak Rasulullah saw, wahai cucu nabi saw, Engkau adalah orang termulia, nasehatmu wajib menjadi pegangan kami, sampaikanlah/ berikanlah nasehatmu kepada kami.
Ja’far al-Shaddiq :
Sungguh aku takut, datukku akan memegang tanganku di hari kiamat nanti, dan berkata : mengapa engkau tidak mengikuti jejakku dengan sebaik-baiknya.
Demikian jawaban al-Shaddiq kepada Daud al-Thoi, padahal beliau tidak pernah meninggalkan jejak datuknya, Rasulullah saw.
Maka menangislah Daud al-Thoi dan berkata : “Ya Allah, Ya Tuhanku, jika demikian sifat orang dari keturunan Nabi saw, berakhlaq dan berbudi seperti datuknya dan Fathimah al-zahra, dalam kebingungan, khawatir belum sempurna dalam mengikuti jejak Nabi saw, bagaimana halnya dengan aku, Daud ini, yang bukan dari keturunan Nabi saw.

Cara menetapkan Nasab

CARA MENETAPKAN NASAB

a. Yang bersangkutan adalah anak kandung, anak hasil hubungan perkawinan seorang laki-laki dan perempuan yang sah menurut agama Islam. Rasulullah saw bersabda, ‘Dinamakan anak kandung karena hasil dari hubungan sah laki-laki dan perempuan berdasarkan syariat, sedangkan untuk anak hasil zina/pelacuran maka nasabnya adalah batu’.

b. Kesaksian yang didapat berdasarkan syariat yaitu kesaksian dari dua orang laki-laki, beragama Islam, sehat rohani, mampu berpikir, dikenal keadilannya. Khusus untuk syarat dua orang saksi yang adil, ia menyaksikan bahwa benar anak itu adalah anak kandung orang tuanya, atau menyaksikan bahwa anak itu adalah hasil dari perkawinan yang sah, atau menyaksikan bahwa anak itu sudah dikenal dan tidak diragukan lagi oleh masyarakat bahwa ia adalah anak kandung orang tuanya.
c. Adanya ketetapan atau keputusan dalam majlis hukum yang menyatakan bahwa anak tersebut benar anak kandung dari orang tuanya.

d. Sudah terkenal dan tersiar luas, sebagaimana Imam Abu Hanifah berkata, ‘Dengan terkenal dan tersiar luas maka nasab, kematian dan pernikahan dapat ditetapkan’. Ibnu Qudamah al-Hanbali berkata, ‘ Telah sepakat ulama atas sahnya kesaksian mengenai nasab dan kelahiran seseorang, karena nasab atau kelahirannya dikenal atau tersiar luas di kalangan masyarakat’. Berkata Ibnu Mundzir, ‘Saya tidak mengetahui ada ulama yang menolak hal itu’.

e. Datangnya seorang pemohon nasab dengan membawa nama ayah dan kakeknya dengan berbagai keterangan dari sisi sejarah dengan kesaksian yang terkenal dari para ulama atau hakim yang tsiqat mengenai kebenaran nasabnya.
Ibnu Qudamah. Al-Mughni, jilid 12 hal. 21.

Perhatian Khalifah terhadap silsilah keturunan Nabi saw
Yang pertama menuliskan silsilah keturunan di dalam buku khusus mengenai nasab ialah khalifah Umar bin Khattab yang mencatat dengan urutan pertama mulai dari keturunan bani Hasyim satu persatu baik laki-laki maupun perempuan. Kemudian barulah berikutnya khalifah Umar bin Khattab menggolongkan bangsa Arab, kemudian bangsa-bangsa lainnya yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah saw.
Dalam kitab Ahkam al-Sulthaniyah karangan Mawardi dan kitab Futuh al-Buldan karangan Baladzuri, yang diriwayatkan oleh al-Sya’bi bahwa :
‘Umar bin Khattab berkata, ‘bahwa sesungguhnya sudah seharusnya bersikap kasih sayang kepada orang-orang yang memang berhak menerimanya’. Maka berkata orang-orang yang hadir, ‘Betul, engkau telah berbuat itu pada tempatnya, hai amirul mu’minin’. Lalu Umar bin Khattab bertanya : kepada siapakah aku harus memulai ? Mereka menjawab : mulailah dengan dirimu sendiri. Berkata Umar bin Khattab : Tidak, tetapi aku akan menempatkan diriku di tempat yang Allah telah tetapkan baginya, dan aku akan mulai pertama kali dengan keluarganya Rasulullah saw. Maka ia melaksanakan hal itu’.

Selanjutnya al-Sya’bi meriwayatkan :
‘Maka Umar bin Khattab memanggil Aqil bin Abi Thalib, Mahramah bin Naufal dan Zubair bin Muth’im, yang ketiganya terkenal sebagai ahli nasab bangsa Quraisy. Berkata Umar kepada mereka : Tuliskanlah olehmu menurut tingkatannya masing-masing. Lalu mereka mulai menulisnya pertama kali dari keturunan bani Hasyim, kemudian Abubakar dan kaumnya, kemudian Umar bin Khattab dan kaumnya sebagaimana susunan khilafat. Tatkala Umar melihat itu, maka berkata : Demi Tuhan, sebenarnya saya lebih menyukai penulisan keturunan yang semacam ini, tetapi lebih baik lagi jika engkau mulai dari keluarga Nabi Muhammad saw saja, dan yang paling dekat, dan yang paling terdekat, hingga engkau letakkan Umar di tempat yang Allah swt telah tentukan baginya’.
Dalam riwayat lain Umar bin Khattab berkata :
‘Demi Allah, kita tidak sampai kepada kesempurnaan di dunia ini, dan kita tidak mengharap balasan pahala atas perbuatan kita, melainkan sebab Muhammad saw, karena beliau yang menjadikan kemuliaan pada diri kita, dan kaumnya adalah yang paling mulia di antara bangsa Arab, kemudian yang paling dekat dan paling terdekat. Demi Tuhan, meskipun yang bukan Arab jika datang dengan membawa amal, sedang kita datang tanpa membawa amal, niscaya mereka (yang bukan Arab) lebih utama bagi Muhammad saw daripada kita di hari kiamat, karena siapa saja yang mengurangkan amal atas dirinya, tidaklah keturunannya akan bisa mengejar kepadanya‘.

Khalifah selanjutnya berbuat sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khattab hingga kepada pemerintahan Abbasiyah yang mengkhususkan urusan nasab dengan mendirikan kantor dalam hal pencatatan nasab yang dipimpin oleh seorang kepala (Naqib). Bani Abbas, bani Thalibiyin yaitu keturunan dari Abi Thalib masing-masing dipimpin oleh seorang Naqib. Begitu pula untuk keturunan para syarif, yaitu keturunan dari Hasan dan Husein di setiap kota dipimpin pula oleh seorang Naqib yang salah satu kewajibannya adalah menjaga dengan sebenar-benarnya keturunan nabi Muhammad saw.



a. Bertaqwa kepada Allah swt, takut terhadap segala bentuk godaan yang akan menimbulkan sifat khianat para ahli nasab dengan menetapkan, membuat atau mengeluarkan nasab seseorang yang bukan keturunan Rasulullah saw, baik dengan cara sogokan dalam bentuk materi (uang), hubungan kekeluargaan dan persahabatan, pemaksaan dari lain pihak dengan berbagai macam cara, sehingga ahli nasab tersebut tergelincir ke dalam kegiatan pemalsuan nasab.

b. Berlaku jujur agar tidak berbuat kebohongan dalam menetapkan, membuat atau mengeluarkan nasab seseorang yang bukan keturunan Rasulullah saw dan mampu menolak segala bentuk kecurangan seputar nasab.

c. Menjauhkan diri dari sifat-sifat yang dilarang oleh syariat, berbuat yang hina dan dapat merendahkan martabatnya serta menghindari perbuatan yang dapat merusak kewibawaan sebagai seorang ahli nasab dengan sengaja melanggar syariat.

d. Istiqamah (konsisten) dalam menghadapi setiap masalah, jika ia telah menetapkan nasab seseorang keturunan Rasulullah saw berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan dan tidak melanggar aturan agama, mengkaji pendapat lingkungan, apalgi pendapat tersebut tidak mempunyai dasar dan fakta, serta tidak dapat dipertanggungjawabkan.

d. Seorang yang berkecimpung di bidang nasab haruslah orang yang benar-benar mengetahui ilmu nasab dan mempunyai ingatan yang kuat dan baik, mempunyai analisa yang luas dan mendalam seputar nasab, selalu menguasai dan menyandarkan pengetahuannya kepada syariat dan hukum Islam terutama hukum-hukum yang berkenaan dengan ahlu bait Rasusulullah saw.

e. Bersikap penuh dengan kehati-hatian, cermat dan teliti dalam berpikir, tidak tergesa-gesa dan mudah membuat keputusan tanpa pertimbangan yang matang.
f. Mempunyai jiwa yang besar dan tegar, agar tidak mudah cemas dalam menghadapi persoalan nasab, supaya tidak membawanya kearah kebatilan dan menjauhkan diri dari kebenaran.

g. Mempunyai tulisan yang bagus, karena seorang ahli nasab tidak pernah jauh dari urusan tulis menulis seputar silsilah keluarga Rasulullah saw.
Posted 8th June by Ali Murtadho bsa



Di antara kegunaan mempelajari ilmu nasab adalah :

Pertama, mengetahui nasab nabi Muhammad saw yang merupakan suatu keharusan untuk sahnya iman. Ibnu Hazm berkata : diantara tujuan mempelajari ilmu nasab agar seseorang mengetahui bahwasanya nabi Muhammad saw diutus oleh Allah swt kepada jin dan manusia dengan agama yang benar, Dia Muhammad bin Abdullah al-Hasyimi al-Quraisy lahir di Makkah dan hijrah ke Madinah. Siapa yang mempunyai keraguan apakah Muhammad saw itu dari suku Quraisy, Yamani, Tamimi atau Ajami, maka ia kafir yang tidak mengenal ajaran agamanya.

Kedua, sesungguhnya pemimpin itu berasal dari suku Quraisy. Berkata Ibnu Hazm : Dan tujuan mempelajari ilmu nasab adalah untuk mengetahui bahwa seseorang yang akan menjadi pemimpin harus anak cucu Fihr bin Malik bin Nadhir bin Kinanah.

Ketiga, untuk saling mengenal di antara manusia, hingga kepada keluarga yang bukan satu keturunan dengannya. Hal ini penting untuk menentukan masalah hukum waris, wali pernikahan, kafaah suami terhadap istri dalam pernikahan dan masalah wakaf.
Dari Abu Dzar al-Ghifari, Rasulullah saw bersabda :

‘Tidaklah seorang yang mengaku bernasab kepada lelaki yang bukan ayahnya, sedangkan ia mengetahuinya maka ia adalah seorang kafir. Dan siapa yang mengaku bernasab kepada suatu kaum yang bukan kaumnya, maka bersiaplah untuk mengambil tempat duduknya di neraka’.

Berkata al-Hafidz al-Sakhawi dalam kitab al-Ajwibah al-Mardhiyah, diriwayatkan oleh Abu Mus’ab dari Malik bin Anas, : Siapa yang menyambung nasabnya kepada keluarga Nabi saw (dengan cara yang bathil) maka orang tersebut harus diberi hukuman dengan pukulan yang membuat dia bertobat karenanya.’

Dari Said bin Abi Waqqas, Rasulullah saw bersabda :

‘Siapa yang mengaku bernasab kepada yang bukan ayahnya di dalam Islam, sedangkan ia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, maka surga haram baginya’.

Dalam kitab Nihayah al-Arab, syekh al-Qalqasyandi berkata :
‘Bukan rahasia lagi bahwa mempelajari ilmu nasab, ada hal yang difardhukan bagi setiap orang, ada yang tidak, dan ada pula yang dianjurkan. Misalnya mengenali nasab nabi kita, mengenali nasab-nasab orang lain dan agar tidak salah dalam memberlakukan hukum waris, wakaf maupun diyat. Seseorang yang tidak mempelajari ilmu nasab, sudah pasti ia akan salah bertindak terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah di atas’.

Dengan demikian jelaslah bahwa ilmu nasab adalah suatu ilmu yang agung yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’. Siapa saja yang mengatakan bahwa mempelajari ilmu nasab itu tidak memberi manfaat dan tidak mengetahuinya pun tidak membawa mudarat, maka sesungguhnya mereka telah menghukum diri mereka sendiri melalui syetan yang selalu memperdayanya dengan menghiasi amalan mereka.
Istilah di kalangan ulama ahli nasab

Dalam kitab Risalah al-Mustholahat al-Khossoh bi al-Nassabin fi Bayan Isthilahat al-Nasabah li Ba’di Ulama al-Nasab dan kitab lainnya seperti Jami’ al-Duror al-Bahiyah karangan syaikh Dr. Kamal al-Huut ketua perkumpulan Sadah al-Asyraf Libanon[1], dijelaskan beberapa istilah yang digunakan oleh para ulama nasab, yaitu :
a. Shahih al-Nasab.
Nasab yang telah ditetapkan kebenarannya di sisi ulama nasab berdasarkan bukti-bukti dan naskah-naskah asli yang terkumpul pada ulama ahli nasab yang amanah, wara’ dan jujur.
b. Makbul al-Nasab.
Nasab yang telah ditetapkan kebenarannya pada sebagian ulama nasab tetapi sebagian lain menentangnya. Maka syarat diterimanya nasab tersebut harus melalui kesaksian dua orang yang adil.
c. Masyhur al-Nasab.
Nasab yang dikenal melalui gelar atau kedudukannya, akan tetapi nasabnya tidak dikenal. Di sisi ulama, nasabnya dikenal sedangkan pada kebanyakan orang nasabnya tidak dikenal karena adanya perselisihan satu sama lain.
d. Mardud al-Nasab.
Nasab yang disandarkan kepada satu qabilah/family, pada kenyataannya orang itu tidak menyambung nasabnya kepada qabilah/family tersebut, dan qabilah/family tersebut menolaknya. Maka statusnya termasuk golongan nasab yang ditolak di sisi ulama nasab.
e. Fulan Daraja.
Wafat tanpa meninggalkan anak.
f. Aqbuhu min Fulan/al-aqbu min Fulan.
Anak cucunya berasal dari fulan.
g. Fulan a’qab min fulan.
Anak cucunya tidak berasal dari fulan tetapi dari anak yang lain.
h. Fulan aulad/walad.
Fulan mempunyai keturunan.
i. Fulan Inqorodh.
Fulan tidak mempunyai anak cucu/terputus.
j. Fulan ‘Ariq al-Nasab.
Fulan ibu dan neneknya (dari ibu) berasal dari keluarga ahlu bait Rasulullah saw.
k. Huwa lighoiri Rosydah.
Fulan dilahirkan dari nikah yang rusak. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Baihaqi dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda : ‘Siapa yang bersambung nasabnya kepada anak yang nikahnya rusak, maka dia tidak berhak mewarisi dan diwarisi’.
l. Huwa min al-Ad’iyah.
Fulan adalah anak angkat seorang lelaki. Nasabnya kembali kepada bapak aslinya.
m. Ummuhu Ummu al-Walad.
Ibu dari fulan adalah seorang jariyah (budak wanita).
n. La Baqiyah Lahu.
Keturunan fulan habis/musnah.
o. Usqith.
Fulan tidak ditemukan nasabnya sebagai ahlu bait dikarenakan nasabnya tidak menyambung.

[1] Syaikh Dr. Kamal al-Huut, Jami’ al-Duror al-Bahiyah li Ansab al-Qurosyiyin fi al-Bilad al-Syamiyah, hal. 19.

Posted 31st May by Ali Murtadho bsa



Berfirman Allah swt dalam alquran :
‘Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, supaya kamu mengenal satu sama lain.
Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa’.[1]

Diriwayatkan oleh Ibu Asakir dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah saw bersabda :
‘Aku adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Firh (Quraisy) bin Malik (bin al-Nadhir) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ah bin Adnan’.[2]

Diriwayatkan oleh al-Hakim dari Saad :
‘Ketika aku bertanya kepada Rasulullah saw : Siapakah aku ini ya Rasulullah saw ? Beliau saw menjawab : ‘Engkau adalah Saad bin Malik bin Wuhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah. Siapa saja yang mengatakan selain dari pada itu, maka baginya laknat Allah’.[3]

Diriwayatkan oleh Khalifah bin Khayyat dari Amr bin Murrah al-Juhni :
‘Pada suatu hari aku berada di sisi Rasulullah saw kemudian beliau saw bersabda : ‘Siapa yang berasal dari keturunan Maad hendaklah berdiri’. Maka aku berdiri tetapi Rasulullah saw menyuruhku duduk hingga tiga kali. Lalu aku bertanya : Dari keturunan siapa kami ya Rasulullah ? Beliau saw menjawab : ‘Engkau dari keturunan Qudha’ah bin Malik bin Humair bin Saba’.[4]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda :
‘Pelajarilah silsilah nasab kalian agar kalian mengenali tali darah kalian, sebab menyambung tali darah dapat menambah kasih sayang dalam keluarga, menambah harta dan dapat menambah usia’.
Berkata Umar bin Khattab :
‘Pelajarilah silsilah nasab kalian, janganlah seperti kaum Nabat hitam jika salah satu di antara mereka ditanya dari mana asalnya, maka ia berkata dari desa ini’.
Imam al-Halimi berkata :
‘Hadits-hadits tersebut menjelaskan tentang arti pertalian nasab seseorang sampai kepada leluhurnya, dan apa yang dikatakan nabi Muhammad saw tentang nasab tersebut bukanlah suatu kesombongan atau kecongkakan, sebaliknya hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kedudukan dan martabat mereka’.
Di lain riwayat dikatakan bahwa itu bukan suatu kesombongan akan tetapi hal itu merupakan isyarat kepada ni’mat Allah swt, yaitu sebagai tahadduts bi al-ni’mah. Sedangkan Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa mempelajari ilmu nasab adalah fardhu kifayah.
Pengarang kitab al-Iqdu al-Farid, Abdul al-Rabbih berkata :
‘Siapa yang tidak mengenal silsilah nasabnya berarti ia tidak mengenal manusia, maka siapa yang tidak mengenal manusia tidak pantas baginya kembali kepada manusia’.
Dalam Mukaddimah al-Ansab, al-Sam’ani berkata :
‘Dan ilmu silsilah nasab merupakan ni’mat yang besar dari Allah swt, yang karena hal itu Allah swt memberikan kemuliaan kepada hambanya. Karena dengan ilmu silsilah mempermudah untuk menyatukan nasab-nasab yang terpisah-pisah dalam bentuk kabilah-kabilah dan kelompok-kelompok, sehingga dengan ilmu silsilah nasab menjadi sebab yang memudahkan penyatuan tersebut’.

[1] Surat al-Hujurat ayat 13.
[2] Seggaf Ali Alkaf, Satu Kajian Mengenai Nasab Bani Alawi, hal. 41.
[3] Ibid, hal. 42.
[4] Ibid
Posted 28th May by Ali Murtadho bsa